Suara hati ini tidak mau berhenti untuk berkata “ Allah”. Pikiran yang terus membawa untuk selalu mengingat kematian. Kematian yang hakikinya pasti datang, entah dengan senyuman atau tangisan. Aku salah dalam mengarungi kehidupan dan memaknainya, kehidupan yang hanya tempat bermain aku terlalu memainkannya, kehidupan yang di ibaratkan hanya “mampir ngombe”. Namun, aku lupa bahwa aku telah membuat keruh air, air yang seharusnya aku gunakan untuk melanjutkan ke akhirat nanti. Tidak terbayangkan kehidupan di akhirat nanti, kulit terbakar akan kobaran api yang mungkin begitu lapar akan darah yang mengalir dalam tubuh. Wajah ganteng dan cantik yang di dunia bisa berkata dengan angkuhnya di akhirat nanti hanya akan menjadi lelehan darah. Foto foto munafik yang aku upload dengan berbagai gaya dan tagline yang mengisyaratkan rasa syukur hanya akan menjadi boomerang untuk membunuh diri sendiri. Aku takut akan datangnya hari peringatan. Peringatan yang jarang di ingat. Mungkin aku terlalu melalap banyak buku pengetahuan, berita, dan apa yang ada di dunia ini sehingga aku lupa membaca kalam sucimu. Sampai aku tidak paham isi dari kitab suci ku. Aku merasa rusak dengan kemajuan di dunia ini. Kehidupan ini sudah menjadi kuasa para orang gila.
Benar apa yang di katakan oleh sang Pujangga Ronggowarsito di tembang sinomnya dalam Serat Kalatido “ Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan. Yen ten melu anglakoni boya kaduman melik, kaliren wekasanipun. Dilalah karsaning Allah. Sak beja-bejane wong kang lali. Luwih beja kang eling lan waspada “. Apabila di terjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti ”Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak, ikut gila tidak tahan, jika tidak ikut gila tidak memperoleh bagian hak milik,akhirnya menjadi ketaparan. Namun dari kehendak Allah, seuntng untungnya orang yang lupa diri, masih lebih bahagia yang ingat dan waspada.
Comments
Post a Comment