Skip to main content

WISUDA




Ku ukir mulut ini untuk selalu tersenyum
Ku cuci wajah ini untuk selalu tampak bersinar
Tak lupa ku pakai jazz dan kebaya bermode eropa
Ku hentakkan sepatu pantofel ini berjalan menuju pucuk kebahagiaan.
Ribuan ragam suasana berkumpul menjadi Satu
Dalam ruang nyata berbaris kursi, dekorasi
Memantapkan langkah bersama title yang akan menyanding
Menjadi kawan yang akan menemani bercerita
WISUDA
Mungkin luapan kegembiraan bagi seorang mahasiswa adalah saat saat toga tepakai dalam kepalanya. Penantian bertahun tahun melanglang buana kesana dan kemari habis dalam kurun waktu kurang labih satu hari. Berputar dan berbalik mencari siapapun untuk diajak foto. Berlomba-lomba dengan gaya –gaya yang terbaik sampai senyuman pun tak pernah luntur dalam bibir manisnya.
Inilah anak kebanggaan orang tua. Bagi sebagian orang tua, mereka mengganggap bahwa strata mereka telah naik satu tingkat karena telah berhasil meluluskan anak-anaknya diperguruan tinggi negeri. Akan bertambah pula prestisenya dengan perguruan negeri yang ditempati. Mereka akan merasa “ Ayah bangga padamu nak”
Aku membayangkan suatu saat nanti jikalau aku wisuda. Betapa lemasnya tubuh ini menahan kebahagiaan yang terus  tumpah dalam hati dan pikiran. Ditambah dengan keluarga dan kerabat yang menyempatkan datang hanya untuk sekedar bercengkrama. Namun itulah yang menjadi pokok utama kebahagiaan. Datangnya orang-orang yang telah mendukung materi dan immaterial membuat air mata akan terus mengalir. Dekapan dan salaman dari orang-orang yang pernah menjadi bagian dalam perjuangan akan menjadi sejarah dan tonggak perjungan untuk melaju ke depan.
Wisuda
Bukan menjadi tempat untuk  berbangga berlebihan. Kebanggaan  adalah ketika kewisudaannya dapat diaplikasikan ke dalam masyarakat. Menjadi alumni dari sebuah perguruan negeri ternama adalah suatu tugas berat yang harus di emban. Masyarakat menantikan rasa peduli dan kecerdasan kita untuk memberiakn sedikit kebahagiaan kepada mereka. Bukan hanya sekedar mahasiswa yang malah memantapkan diri mereka di posisi teratas yang akan merusak eksistensi masyarakat kalangan bawah. Apakah inikah yang membuat kemiskinan semakin bertambah?
Bisa iya bisa juga tidak. Semua dikembalikan ke pribadi masing-masing. Rasa cinta ke sesama makhluk menjadi kunci utama. Penanaman kebencian-kebencian jangan sampai disebar luaskan kedalam generasi selanjutnya. Jadi, sampai sejauh mana kita di sebut sebagai seorang yang terpelajar?


Depok, 13-09-2016

Comments

Popular posts from this blog

Prural

             Dalam ramainya suara manasia yang bertukar kata. Tidak pernah terpikir dalam benak mereka akan datang suatu hari istimewa dalam diri mereka. Lampu dengan sinarnya menembus retina mata yang menjadikan mata ini berhias frame mata. Tidak dapat lepas hilir mudik para pemimpi kebijakan untuk menulis dan menceritakan ide masa depan. Para kaum intelektual berkumpul beradu ketepatan untuk dehumanisasi kasat mata.              Inilah kehidupan diatas kematian orang lain, Inilah kebahagiaan di atas kesedihan orang lain, Inilah kecerdasan diatas kebodohan orang lain. Memang hidup sekarang ini kejam, siapa diam itukah yang di injak. Diam bukan lagi emas, diam bukan mutiara yang yang diagungkan. Namun banyak berucap dan cerewetlah dialah yang bertahan dalam seleksi demokasi yang tabu dan dibuat buat.             Proses menuju ke hakikian hidup semakin terkunci dengan pintu kantor yang terbuka padi dan sore. Hiasan surgawi di hiasi dengan warna warna hijau dan sekutunya. Sajadah m

Menghadang rindu

Ada sekelebat rindu yang menumpuk Dari pelapuk mata yang berlari Menahan rasa  Darimu pencipta asa Walaupun sekejap  Tak mampu ku tahan kadang Hingga meradang Bagaimana aku menghadang Rasa memang tak mudah Sampai saat ini aku percaya sungguh Pada lagu ciptaan meggy z Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati Tapi semua begitu penuh misteri tak ada yang mengerti Jalan cerita seseorang Maka kuatkan aku dalam menerima segalanya

Untuk Mu yang Pernah Mencintaiku.

Detik jarum memukul mundur masa lalu yang pernah terjadi. Memukul semakin keras hingga aku perlahan lupa dari segala peristiwa yang telah ada. Daun yang dulu pernah menjadi saksi, hingga bunga yang ku petik kala itu, nampaknya sudah kering keronta atau bahkan mati. Suara angin, manisnya senja hingga bulan di waktu malam rasanya sudah terhapus dari catatan-catatan puisi yang telah aku buat. Cepat begitu rasanya peristiwa itu terjadi. Aku dan kamu yang selalu berucap “ Selamat Pagi”, kini sudah tak ada dering dari nada ponsel. Banyak macam barang, catatan-catatan entah di meja, di kursi atau di tembok sudah tak tampak sedikitpun. Memang begitu keras waktu menjawab segalanya. Ruang yang pernah kita buat pun hampa tak berbau. Hanya lalat-lalat kecil yang beterbangan mencari bangkai bangkai binatang. Apalagi orang tua mu dan orang tua ku. Semua berharap sama. Aku dan Kamu akan duduk berdampingan hingga aku mengucapkan Qobiltu. Orang tua mu dan orang tua ku berharap sama. Aku dan Kamu be