Detik jarum memukul mundur masa lalu yang pernah terjadi. Memukul semakin keras hingga aku perlahan lupa dari segala peristiwa yang telah ada. Daun yang dulu pernah menjadi saksi, hingga bunga yang ku petik kala itu, nampaknya sudah kering keronta atau bahkan mati. Suara angin, manisnya senja hingga bulan di waktu malam rasanya sudah terhapus dari catatan-catatan puisi yang telah aku buat.
Cepat begitu rasanya peristiwa itu terjadi. Aku dan kamu yang selalu
berucap “ Selamat Pagi”, kini sudah tak ada dering dari nada ponsel. Banyak
macam barang, catatan-catatan entah di meja, di kursi atau di tembok sudah tak
tampak sedikitpun. Memang begitu keras waktu menjawab segalanya. Ruang yang
pernah kita buat pun hampa tak berbau. Hanya lalat-lalat kecil yang beterbangan
mencari bangkai bangkai binatang.
Apalagi orang tua mu dan orang tua ku. Semua berharap sama. Aku dan Kamu
akan duduk berdampingan hingga aku mengucapkan Qobiltu. Orang tua mu dan orang
tua ku berharap sama. Aku dan Kamu berfoto bersama dengan saling memeluk hingga
mencium. Orang tua mu dan orang tua ku berharap sama. Tidak ada kesedihan yang
terjadi. Apalagi tangisan kekecewaan.
“Namun
apa mau dikata, semua itu hanya harapan”
Harapan yang sesekali tercapai dari orang-orang yang penuh keyakinan
bukan keraguan. Iya benar. Banyak keraguan yang ada dalam jiwa ini. Ragu tidak
bisa membahagiakan mu hingga ragu kalau kamu memang benar benar mencintaiku.
Kamu pernah berkata “Jangan mengharapkan ku, kamu fokus saja sama apa
yang kamu lakukan. Kita temenan biasa aja. Ya yang penting dibawa santai aja”.
Itulah kalimat yang setiap tahun kamu ucapkan hingga aku Sudah mampu menebak
kapan jawaban itu akan muncul. Kamu selalu mengelak bahwa kamu benar benar
menjadi perempuan yang berdiri diantara kemungkinan dan ketidakmungkinan.
Apalagi ada saja rautan dari wajah yang kamu tampakkan pada aku, layaknya kamu
melihat apa yang kamu takuti.
“Tapi
memang, waktu selalu bijaksana dalam menjawab semuanya”
Singkat cerita, semua jalan telah terbuka. Apa yang aku dan kamu
rencanakan sebenarnya memang terjadi. Penyesalan wajar sebagai hamba yang
kotor. Kebanggaan? Jangan menjadi kebanggaan. Kenapa? Aku dan kamu tidaklah
anak yang patuh pada orang tua. Harapan-harapan di atas tidak mampu kita
wujudkan sebagaimana mestinya. Minta maaflah sama orang tua, teman.
Comments
Post a Comment