Skip to main content

Untuk Mu yang Pernah Mencintaiku.

Detik jarum memukul mundur masa lalu yang pernah terjadi. Memukul semakin keras hingga aku perlahan lupa dari segala peristiwa yang telah ada. Daun yang dulu pernah menjadi saksi, hingga bunga yang ku petik kala itu, nampaknya sudah kering keronta atau bahkan mati. Suara angin, manisnya senja hingga bulan di waktu malam rasanya sudah terhapus dari catatan-catatan puisi yang telah aku buat.

Cepat begitu rasanya peristiwa itu terjadi. Aku dan kamu yang selalu berucap “ Selamat Pagi”, kini sudah tak ada dering dari nada ponsel. Banyak macam barang, catatan-catatan entah di meja, di kursi atau di tembok sudah tak tampak sedikitpun. Memang begitu keras waktu menjawab segalanya. Ruang yang pernah kita buat pun hampa tak berbau. Hanya lalat-lalat kecil yang beterbangan mencari bangkai bangkai binatang.

Apalagi orang tua mu dan orang tua ku. Semua berharap sama. Aku dan Kamu akan duduk berdampingan hingga aku mengucapkan Qobiltu. Orang tua mu dan orang tua ku berharap sama. Aku dan Kamu berfoto bersama dengan saling memeluk hingga mencium. Orang tua mu dan orang tua ku berharap sama. Tidak ada kesedihan yang terjadi. Apalagi tangisan kekecewaan.

                                    “Namun apa mau dikata, semua itu hanya harapan”

Harapan yang sesekali tercapai dari orang-orang yang penuh keyakinan bukan keraguan. Iya benar. Banyak keraguan yang ada dalam jiwa ini. Ragu tidak bisa membahagiakan mu hingga ragu kalau kamu memang benar benar mencintaiku.

Kamu pernah berkata “Jangan mengharapkan ku, kamu fokus saja sama apa yang kamu lakukan. Kita temenan biasa aja. Ya yang penting dibawa santai aja”. Itulah kalimat yang setiap tahun kamu ucapkan hingga aku Sudah mampu menebak kapan jawaban itu akan muncul. Kamu selalu mengelak bahwa kamu benar benar menjadi perempuan yang berdiri diantara kemungkinan dan ketidakmungkinan. Apalagi ada saja rautan dari wajah yang kamu tampakkan pada aku, layaknya kamu melihat apa yang kamu takuti.

                                    “Tapi memang, waktu selalu bijaksana dalam menjawab semuanya”

Singkat cerita, semua jalan telah terbuka. Apa yang aku dan kamu rencanakan sebenarnya memang terjadi. Penyesalan wajar sebagai hamba yang kotor. Kebanggaan? Jangan menjadi kebanggaan. Kenapa? Aku dan kamu tidaklah anak yang patuh pada orang tua. Harapan-harapan di atas tidak mampu kita wujudkan sebagaimana mestinya. Minta maaflah sama orang tua, teman.

 

 

 


Comments

Popular posts from this blog

Prural

             Dalam ramainya suara manasia yang bertukar kata. Tidak pernah terpikir dalam benak mereka akan datang suatu hari istimewa dalam diri mereka. Lampu dengan sinarnya menembus retina mata yang menjadikan mata ini berhias frame mata. Tidak dapat lepas hilir mudik para pemimpi kebijakan untuk menulis dan menceritakan ide masa depan. Para kaum intelektual berkumpul beradu ketepatan untuk dehumanisasi kasat mata.              Inilah kehidupan diatas kematian orang lain, Inilah kebahagiaan di atas kesedihan orang lain, Inilah kecerdasan diatas kebodohan orang lain. Memang hidup sekarang ini kejam, siapa diam itukah yang di injak. Diam bukan lagi emas, diam bukan mutiara yang yang diagungkan. Namun banyak berucap dan cerewetlah dialah yang bertahan dalam seleksi demokasi yang tabu dan dibuat buat.             Proses menuju ke hakikian hidup semakin terkunci dengan pintu kantor yang terbuka padi dan sore. Hiasan surgawi di hiasi dengan warna warna hijau dan sekutunya. Sajadah m

Menghadang rindu

Ada sekelebat rindu yang menumpuk Dari pelapuk mata yang berlari Menahan rasa  Darimu pencipta asa Walaupun sekejap  Tak mampu ku tahan kadang Hingga meradang Bagaimana aku menghadang Rasa memang tak mudah Sampai saat ini aku percaya sungguh Pada lagu ciptaan meggy z Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati Tapi semua begitu penuh misteri tak ada yang mengerti Jalan cerita seseorang Maka kuatkan aku dalam menerima segalanya