sumber:google |
“Indonesia rasanya sudah tidak terlihat multikultural lagi.
Negeri dengan beribu keunikannya ini hanya ada dua dunia yaitu dunia cebong dan
dunia kampret”
Masih banyak perasaan yang ingin saya ungkapkan untuk
Indonesia saat ini. Negeri ini semakin kacau saja. Saya sebagai putra ibu yang lahir
juga di Indonesia merasa khawatir kalau Indonesia ini akan bubar. Bukan karena
saya pendukung Prabowo, tapi kutipan dari Prabowo itu ada benarnya jika memang
2030 Indonesia akan bubar. Indonesia bubar ini memang tidak tanpa alasan. Kalau
dilihat sekarang sebagian besar masyarakat terutama umat Islam gampang tersulut
emosi. Islam
mayoritas lho. Nilai-nilai keislaman
yang rahmatal lil alamin rasanya hilang pada kelompok islam tertentu. Mungkin
berpikir seperti itu masih terlalu jauh namun faktanya saya merasakan sendiri
akan hilangnya Indonesia. Ketika duduk di bangku sekolah dasar hingga SMA saya percaya
dan meyakini bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang ramah, sopan dan sangat
menghormati orang lain. Walaupun banyak jeleknya juga sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Koentjaraningrat. Materi-materi pengetahuan seperti itu membuat
saya semakin cinta dan nyaman dengan negeri ini. Apalagi saya hidup di desa
dengan kehidupan sosial yang masih sangat nyaman untuk melakukan aktivitas. Begitu
juga soal keagamaan, saya sebagai orang Islam merasakan ketenangan dalam melakukan
ibadah kepada gusti pangeran. Pagi, siang dan malam di desa telah banyak
mengajarkan saya tentang kesederhanaan, kemapanan dan tujuan hidup ini untuk
apa. Sudah sangat jelas memang hidup di desa tidak ada yang menarik. Hidupnya
akan biasa biasa saja kalau dilihat dari kaca mata orang kota. Namun semua itu seketika berubah ketika saya
bersama dengan ruh dan jasmani saya merantau ke kota. Melihat orang tertawa lepas dan
saling bertegur sapa sudah sangat beruntung untuk ditemukan. Sudah hampir 4
tahun saya tinggal di kota. Sudah pasti saya kalau ditanya apakah saya lebih
memilih tinggal di kota atau di desa, jawabannya sudah jelas pasti saya akan memilih
di kota dan di desa. Iya dong, realistis aja.
“Kota telah mengajar saya tentang bagaimana berbohong,
serakah, menjadi kafir, orang gila, pura pura baik dan jahat, serta membuat sadar
bahwa kota adalah impian para penguasa yang gila harta dan tahta”
Sebetulnya saya nyaman tinggal di kota kalau punya duit. Orang
di kota bisa humble, sok royal kalau mereka punya duit. Kalau tidak punya
duit ya mungkin hanya diam dan tidak bisa apa apa. Memang susah cuy tinggal di
kota. Eits kog jadi gak nyambung sama judul ya? Tenang tenang di bawah ini akan
saya jelaskan sejelas jelasnya berdasarkan empiris yang saya alami.
Indonesia kurang lebih dua tahun ini telah banyak digerogoti
oleh nafsu jelek manusia. Nafsu ini tumbuh tidak lebih karena faktor kekuasaan.
Nafsu yang mereka usahakan saat ini dirasa benar untuk hidupnya di dunia dan di
akhirat. Setiap harinya saya hanya melihat dan mendengar orang orang berdebat
mencari pembenaran. Mereka membuat berita dan mereka jugalah yang mengomentari.
Lebih bahanya lagi, berita-berita yang diberitakan ini bisa dikatakan “bohong”.
Patut diwaspadai di era post truth ini kebohongan yang semakin digaung
gaungkan akan menjadi sebuah kebenaran yang dipercaya dan diyakini. Orang akan
melupakan beberapa kebenaran umum yang sudah berjalan di masyarakat. Jadi jangan
kaget kalau saat ini banyak orang-orang lagi pada iseng menggosok undian berhadiah.
Mereka berharap apa yang mereka katakan dan lakukan akan menjadi keberuntungan
bagi mereka. Goblok kan?
Jelas. Hal inilah mengapa banyak orang ingin berkuasa. Dengan
kekuasaan mereka dapat memproduksi pengetahuan. Seperti yang dikatakan Michael
Foucault (1982:93 dalam Sari, Azhar, Erviantono:4) bahwa kekuasaan bukanlah sebuah institusi atau
struktur melainkan sebuah strategi yang komplek dalam konteks masyarakat tertentu.
Hal tersebut sudah nampak jelas ketika melihat perilaku dari para penguasa saat
ini. Penggunaan istilah dan bahasa yang digunakan telah membuat sebagian besar
masyarakat ke dalam beberapa kelompok dengan kebenarannya masing-masing. Penggunaan
bahasa ini selalu diartikulasikan dengan praktik budaya yang ada di masyarakat.
Penguasa berkata seolah olah berbicara fakta yang ada untuk membenarkan logikanya.
Wacana-wacana yang dikatakan ini kemudian dilakukan oleh sebagian masyarakat
sebagai bentuk atas kontruksi pengetahuan yang telah diciptakan. Jadi sudah
tahu mengapa banyak orang senang jadi politikus? Mungkin merekalah sebenar-benarnya
agent of change, social control, the guardian value dan iron stock
bukan mahasiswa lagi.
***
Seperti yang diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang
unik dibanding yang lain. Kenapa? Karena Indonesia adalah negara berkembang yang
tidak berkembang tapi sebagian rakyatnya hidup dalam kesederhanaan dan
kenyamanannya masing masing. Kebayang gak coba, ketika ada peristiwa ribut-ribut
terkait masalah ekonomi, sosial, dan budaya masih ada sebagian besar orang di
negeri ini nongkrong, tertawa, minum kopi dan kemungkinan mereka bahagia. Memang
sungguh luar biasa negeri ini. Namun, memang tidak dapat dibohongi bahwa drama
negeri ini walaupun tidak serius tapi patut diseriusi. Karena apa?
“Kalau kita berbicara tentang agama hanya Islam yang gagah perkasa. Kalau berbicara
tentang Islam hanya Islam Nasionalis dan Islam Kaffah. Kalau berbicara Idiologi
hanya Pancasila dan anti Pancasila (Padahal mereka fasis). Kalau berbicara
negara hanya tentang menolak atau menerima khilafah. Kalau berbicara tentang modernitas
hanya tentang Aseng dan anti Aseng. Kalau kita berbicara Indonesia
saat ini hanya ada Jokowi dan Prabowo. Kalau berbicara politik hanya ada Cebong
dan Kampret”
Bagaimana ini?
Mungkin pendiri bangsa saat ini sedang sedih bahkan
menangis melihat penerus-penerusnya hanya tahu siapa yang akan menjadi pengubah
bangsa ini. Harus disadari bahwa Indonesia bukan sebuah desa yang hanya
ditempati 200 atau 250 kepala keluarga. Indonesia bukan juga sebuah puzzle yang
dengan gampang disusun. Namun Indonesia adalah sebuah tempat dimana jutaan
orang berharap Indonesia mampu menjaga dan menjamin kehidupan dunia dan
akhiratnya. Jadi sudah jelas tidak mungkin akan selesai permasalahan negeri hanya
dilakukan oleh dua orang, dua kelompok, satu agama menjadi dua kelompok, dua
suku dan dua calon*. Indonesia butuh kontribusi masing masing dari kita untuk saling
mengisi dan melengkapi kekurangan masing masing. Sudah basi kalau kalimat
manusia tidak ada yang sempurna diucapkan. Namun bagaimana menjadi sempurna dengan
saling melengkapi, saling membantu dan saling mendukung itulah yang harus digemakan.
Walaupun Indonesia ini negara demokrasi tapi tetaplah demokrasinya dengan khas
demokrasi Indonesia. Indonesia ini berbeda dengan negara yang lain. Indonesia
ini mungkin istimewa di hati pencipta bumi ini. Oleh karenanya semua ini harus
disadari bahwa jangan berbicara keadilan kalau disuruh milih desa atau kota
masih milih dua duanya.
“Bagaimana mau jadi pemimpin kalau urusan tidur aja masih
belum selesai. Gimana Indonesia mau maju kalau urusan merk celana dalam aja
masih ditanyakan”
Comments
Post a Comment