Skip to main content

MANASA


Membuka Dilema pendidikan di Indonesia.


Cita cita kamu pengen jadi apa?
Aku pengen jadi Polisi
Kalau kamu ?
Pengen jadi penulis
Tapi kenapa kalian malas sekolah?
Malas karena disekolah tidak ngapa ngapain, daripada di sekolah tidak ngapa ngapain mending di rumah atau di asrama.
Adakah hal lain?
Guru mengajar tidak dengan kerakyatan. Hanya yang pintar saja yang ditanggapi.
Terus gimana mengatasinya?
Ya semua harus sadar. Guru dan murid termasuk saya harus mau berubah.


Percakapan di atas adalah salah satu bagian percakapan aku dengan salah satu murid di sebuah sekolahan. Mungkin percakapan-percakapan seperti itu banyak terjadi di sekolah yang lain. Mulai dari kemalasan siswa, fasilitas, teman, guru dan lain lain. Memang tidak mudah kalau berbicara Pendidikan. Selalu ada alasan untuk menyalahkan dan membenarkan peristiwa yang terjadi di dunia pendidikan. Aku selalu penasaran dengan perkembangan pendidikan saat ini. Apalagi sekarang banyak kasus-kasus yang menimpa murid atau guru yang telah menghilangkan moral. Mulai dari penghinaan, pelecehan dan berakhir dengan kekerasan. Aku tidak habis pikir, apa yang mereka saat ini pikirkan? Apakah mereka tidak berpikir untuk masa depan dirinya? Apakah ada faktor lain, mungkin sistemnya? Kalau iya, apa yang dapat dilakukan?

Membangun moralitas? Bisa jadi.
Mengubah sistem? Bisa jadi
Bagaimana caranya? Ya bisa, kalau ada niat

Tentunya aku tidak mampu menjawab itu semua sendiri. Aku tidak mau hanya terjerumus dalam idealisme aku. Aku masih sangat menghormati mereka yang terjun langsung di dunia pendidikan terutama mereka para pendidik. Dari dulu aku memang memiliki minat untuk bergerak di dunia pendidikan. Entah mau menjadi guru atau membuat sekolahan sendiri. Dua tahun ini aku mulai belajar bagaimana menjadi seorang peminat pendidikan di sekolah formal bernama MANASA. MANASA adalah sekolahan yang didirikan oleh guruku dengan pemahaman yang berbeda dengan sekolah sekolah yang lain. Sekolah yang berdiri kurang lebih 2 tahun ini baru memiliki 2 kelas dengan kisaran murid sekitar 60 anak. Rata rata murid yang bersekolah adalah anak anak yang hidup dalam kesederhanaan. Sekolah ini hampir tidak masuk akal kalau hanya dilihat dari satu perspektif. Biaya yang sangat murah, fasilitas yang seadaanya dan ruang kelas yang unik telah membuka pikiran aku untuk mencoba melihat lebih dalam.

Kenapa berbeda dengan sekolah yang lain?

Secara umum  sistem pendidikan yang dilakukan adalah memberikan kebebasan kepada murid muridnya untuk berkreasi sehingga diharapkan akan muncul bakat bakat yang ada pada diri para murid. Gagasan gagasan inilah yang hampir tidak banyak dimiliki oleh sekolah yang lain. Sekolah lain sibuk untuk membesarkan nama sekolahnya, di sini para guru sibuk untuk memikirkan masa depan anak anaknya. Di sekolah lain para guru meminta gaji, di sini para guru saling berbagi gaji. Susah kalau mau dibicarakan satu persatu dari sekolahan ini. Kalau penasaran datang sendiri saja.
Lain halnya dengan murid muridnya, sudah sejak awal masuk sekolah anak anak dikenalkan dengan dunia mimpi. Mimpi-mimpi orang hebat dengan proses yang luar biasa dikenalkan kepada mereka. Harapannya adalah untuk memupuk jiwa mereka untuk menjadi orang yang punya impian setinggi tingginya. Memang tidak semua anak mampu menerima gagasan itu. Tapi setidaknya semangat dari teman teman yang lain dapat mempengaruhi semangatnya dalam belajar. Aku sempat kagum melihat anak anak MANASA. Ternyata sebelum masuk kelas mereka mengadakan apel pagi. Apel pagi ini isinya adalah berdoa dan mengibarkan bendara merah putih. Namun, satu hal yang membuat aku kagum adalah sesi di mana salah satu anak melontarkan quote quote yang mereka pegang. Aku tertawa dan terharu. Baru kali ini aku melihat sekolahan yang secara fakta melakukan imajinasi seperti dalam film film pendidikan yang revolusioner.

Aku pun tidak menyalahkah sekolah sekolah formal saat ini, dari didikan sistem ini banyak juga orang yang berhasil. Namun, aku sebagai salah seorang yang menjalani sistem sekolah formal ternyata banyak jalan untuk lebih cepat memajukan pendidikan di Indonesia. Ya seperti MANASA ini contohnya.

Dilema Manasa?

Tanpa disadari banyak orang, sekolahan ini pun tidak lepas dari dilema sosial. Dilema sosial muncul ketika berkaitan dengan permasalahan birokrasi. MANASA sebagai sekolah formal yang menerapkan sistem informal tentunya masih sangat dipertanyakan. Pertanyaan ini dapat muncul sebagai bukti bahwa model pendidikan seperti ini masih sangat sedikit di Indonesia. Mungkin banyak gagasan seperti MANASA namun mungkin sekolah tersebut murni sekolah informal seperti sekolah alam atau sekolah terbuka lainnya. Nah, MANASA ini secara tersirat berdiri di dua kaki yang berbeda.

Birokrasi dengan berbagai rentetan kompleksitasnya yang ada masih menjadi rintangan besar untuk membuat MANASA ini maju. Mau tidak mau birokrasi sistem sekolah formal pun harus dilalui. Tentu saja mau bagaimana pun walaupun sekolah ini berbeda tetap membutuhkan dukungan dari pemerintah. Fasilitas-fasilitas seperti perpustakaan dan labolatorium computer menjadi dua hal yang sangat penting untuk sekolah ini.

Tidak hanya para birokrat pendidikan, Pendidik atau guru yang menjadi kunci utama pelaksana pendidikan juga masih mencatatatkan beberapa masalah. Hegemoni yang sudah masuk ke dalam guru-guru dari hasil pendidikan yang dilaluinya terkadang juga berbeda dengan harapan dari founding fathers MANASA. Para guru masih terjebak ke dalam pikiran pikiran guru pada umumnya. Mengajar sesuai kapasitasnya, menjadikan murid pintar sebagai kebanggaannya tanpa melihat potensi-potensi lain yang mungkin menjadi bakatnya. Pengajar dan pendidik memang dua hal yang berbeda. Di MANASA ini aku rasa lebih tepat diisi oleh para pendidik daripada hanya sekedar pengajar.

Tidak mudah, tidak gampang dan tidak mungkin semua itu tidak berhasil. Semua membutuhkan proses yang cukup panjang. Namun, proses panjang tanpa dibarengi dengan kesadaran dari semuanya maka proses itu akan menjadi bom waktu. Pendidikan ini masalah kita semua, semua orang dapat mambantu sesuai kemampuan yang dimiliki. Jangan anggap Pendidikan di Indonesia baik baik saja. Jangan anggap anak anak yang memakai seragam setiap harinya mereka mendapat pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan. Jangan anggap juga sistem pendidikan Indonesia ini menjadi kunci sukses penghasil anak anak bangsa yang mau memajukan bangsanya. Apalagi saat ini pendidikan Indonesia dengan sistemnya sedang dilanda oleh tagar “Darurat Pendidikan di Indonesia”.
Kampung Halaman, 01/03/2019

Comments

Popular posts from this blog

Prural

             Dalam ramainya suara manasia yang bertukar kata. Tidak pernah terpikir dalam benak mereka akan datang suatu hari istimewa dalam diri mereka. Lampu dengan sinarnya menembus retina mata yang menjadikan mata ini berhias frame mata. Tidak dapat lepas hilir mudik para pemimpi kebijakan untuk menulis dan menceritakan ide masa depan. Para kaum intelektual berkumpul beradu ketepatan untuk dehumanisasi kasat mata.              Inilah kehidupan diatas kematian orang lain, Inilah kebahagiaan di atas kesedihan orang lain, Inilah kecerdasan diatas kebodohan orang lain. Memang hidup sekarang ini kejam, siapa diam itukah yang di injak. Diam bukan lagi emas, diam bukan mutiara yang yang diagungkan. Namun banyak berucap dan cerewetlah dialah yang bertahan dalam seleksi demokasi yang tabu dan dibuat buat.             Proses menuju ke hakikian hidup semakin terkunci dengan pintu kantor yang terbuka padi dan sore. Hiasan surgawi di hiasi dengan warna warna hijau dan sekutunya. Sajadah m

Menghadang rindu

Ada sekelebat rindu yang menumpuk Dari pelapuk mata yang berlari Menahan rasa  Darimu pencipta asa Walaupun sekejap  Tak mampu ku tahan kadang Hingga meradang Bagaimana aku menghadang Rasa memang tak mudah Sampai saat ini aku percaya sungguh Pada lagu ciptaan meggy z Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati Tapi semua begitu penuh misteri tak ada yang mengerti Jalan cerita seseorang Maka kuatkan aku dalam menerima segalanya

Untuk Mu yang Pernah Mencintaiku.

Detik jarum memukul mundur masa lalu yang pernah terjadi. Memukul semakin keras hingga aku perlahan lupa dari segala peristiwa yang telah ada. Daun yang dulu pernah menjadi saksi, hingga bunga yang ku petik kala itu, nampaknya sudah kering keronta atau bahkan mati. Suara angin, manisnya senja hingga bulan di waktu malam rasanya sudah terhapus dari catatan-catatan puisi yang telah aku buat. Cepat begitu rasanya peristiwa itu terjadi. Aku dan kamu yang selalu berucap “ Selamat Pagi”, kini sudah tak ada dering dari nada ponsel. Banyak macam barang, catatan-catatan entah di meja, di kursi atau di tembok sudah tak tampak sedikitpun. Memang begitu keras waktu menjawab segalanya. Ruang yang pernah kita buat pun hampa tak berbau. Hanya lalat-lalat kecil yang beterbangan mencari bangkai bangkai binatang. Apalagi orang tua mu dan orang tua ku. Semua berharap sama. Aku dan Kamu akan duduk berdampingan hingga aku mengucapkan Qobiltu. Orang tua mu dan orang tua ku berharap sama. Aku dan Kamu be