![]() |
sumber: google |
Lo Pintar bukan karena guru, tapi lo pintar karena sadar
kalau lo manusia.
Pendidikan saat ini masih menjadi sebuah permasalahan
yang kompleks. Munculnya pesimisme terhadap sistem yang berjalan saat ini.
Menurut beberapa pengamat sistem yang dijalankan tidak efektif untuk
memunculkan bibit-bibit unggul untuk menghadapi persaingan di pasar global. Selain
itu, peristiwa-peristiwa tidak bermoral seperti tawuran, pelecehan dan konflik
yang lain masih membumbui pendidikan di Indonesia. Hal tersebut memunculkan banyak
sekolah yang berdiri sendiri dengan tidak mengandalkan kurikulum dari
pemerintah. Munculnya sekolah-sekolah tersebut telah membuktikan bahwa ada
sesuatu yang tidak berjalan dari ekosistem pendidikan. Apa yang salah?
Pendidikan tentunya tidak dapat dilepaskan dengan
berbagai komponen salah satunya “guru” dan “murid”. Dua komponen tersebut menurut saya menjadi
aspek fundamental dari sebuah pendidikan. Namun sangat disayangkan, saat ini
dua komponen tersebut banyak tersendat. Banyak missing link yang terjadi
antara guru dan murid terutama dalam pendidikan formal. Hal tersebut terjadi
karena beberapa faktor yang disadari dan tidak disadari. Alasan-alasan klasik
seperti kurangnya infrastruktur dan kurangnya perhatian terhadap guru rasanya
sudah tidak menjadi alasan yang relevan. Menurut saya ada hal yang lebih
penting dari alasan tersebut yaitu pemahaman dirinya terhadap dirinya sendiri
baik sebagai guru atau murid. Pemahaman ini dalam ilmu filsafat dinamakan
dengan eksistensialism. Salah satu tokohnya adalah Jean Paul Sartre. Seorang
filsuf yang berasal dari Prancis yang mengembangkan filsafat eksistensialism
setelah perang dunia 1. Eksistensialism ini tentunya menggambarkan mengenai
eksistensi manusia itu sendiri
Terus apa hubungannya pendidikan dengan filsafat?
Sangat jelas. Filsafat menjadi salah satu pijakan
berpikir manusia dalam mengembangkan argumentasinya. Dengan filsafat manusia
akan melihat fenomena-fenomana yang terjadi dalam dirinya dan lingkungannya.
Begitu juga dengan pendidikan, filsafat wajib dikuasi oleh semua pihak terutama
guru sebagai pemberi ilmu pengetahuan. Menurut George R Knight (1982:4-6 dalam
Sunarso 2010:2) membagi filsafat menjadi tigas aspek yaitu filsafat sebagai suatu aktifitas, filsafat
sebagai suatu sikap, dan filsafat sebagai isi. Dalam filsafat sebagai suatu isi
meliputi aspek metafisika, epistemology dan dan aksiologi (Bisa dicari pengertiannya
sendiri). Tiga aspek ini menjadi salah satu kunci dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
Dalam eksistensialisme Sartre terdapat beberapa asas
menganai faham ini. Asas pertama dalam faham eksistensialisme menurut Sartre (1996:30
dalam Sunarso 2010:8) manusia tidak lain adalah bagaimana ia mejadikanya dirinya
sendiri. Dengan asas ini dapat dipahami apabila masing individu individu
menyadari terhadap dirinya sendiri sebagai manusia maka akan memperlakukan dirinya
sebagaimana semestinya. Apabila guru sebagai fasilitator menyadari hal tersebut
maka akan membuat murid-muridnya menjadi manusia yang memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan dirinya. Begitu juga dengan murid, mereka akan
berusaha untuk tetap eksis sebagai seorang pembelajar dengan melakukan berbagai
upaya melalui respon yang semestinya. Respon-respon ini dapat berbentuk dalam
berbagai diskusi, mengajukan pertanyaan dan usaha belajar yang lainnya.
Tentunya dengan pemahaman ini guru yang hanya menyampaikan materi tanpa ada feedback
dari murid muridnya tidak akan ada lagi. Berlanjut pada asas selanjutnya
Eksistensialisme Sartre mengatakan bahwa subjektivitas manusa yang berbeda dengan
benda lain seperti batu atau meja (Sartre 1996:30 dalam Sunarso 2010:9). Manusia
harus menyadari dirinya sendiri sebagai subjek yang harus menjadi pencipta bagi
dirinya sendiri. Hal tersebut akan mendorong individu untuk bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri untuk menjadi ada. Walaupun Sartre juga mengatakan
bahwa perkembangan individu juga dipengaruhi oleh individu lain.
Terus apa masalah pendidikan yang belum diperhatikan?
Kebebasan
Manusia bebas dan manusia adalah kebebasan (Sartre
1996:39 dalam Sunarso 2010:11).
Kebebasan menurut Sartre adalah kebebasan yang mutlak dan konsekuensinya
kebebasan mutlak itu adalah tanggung jawab yang mutlak pula. Inilah yang
mungkin masih belum berjalan di Indonesia. Pendidikan masih terkurung dengan
peraturan-peraturan yang membatasi tumbuh kembang murid. Dari sejak SD, SMP
hingga SMA mereka diharuskan mengikuti seluruh mata pelajaran yang ada. Padahal
setiap murid memiliki minat dan bakat yang berbeda beda. Akibatnya banyak murid
yang melakukan berbagai kesalahan baik secara disengaja atau tidak disengaja. Kesalahan
ini kemudian dari banyak kasus dipahami secara salah oleh beberapa pihak
terkait. Padahal kesalahan merupakan bagian dari proses belajar seseorang.
Kesalahan juga memiliki makna tersendiri bagi kehidupan seseorang. Jadi guru
harus mampu memberikan pengertian terhadap kesalahan yang dilakukan agar dapat
dipahami untuk perubahan yang lebih baik (Sunarso 2010:12). Namun terkadang
penyampaian kesalahan inilah yang mungkin belum banyak dipahami oleh seorang
guru. Untuk caranya tanyakan ke anak psikologi ya.
Dari tulisan tersebut penulis merasa bahwa pendidikan di
Indonesia sedang mengalami masa transisi. Perlu adanya perubahan secara
keseluruhan dari seluruh perangkat pendidikan. Selain itu, perhatian terhadap seluruh
wilayah di Indonesia harus diperhatikan secara serius. Jangan sampai terjadi
ketimpangan yang begitu jauh antara di wilayah perkotaan dan pedesaan. Apalagi
dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat. Modernisasi ini telah
membuat rantai yang saling berhubungan dan ketergantungan. Namun, penulis dalam
hal ini tetap optimis dengan pendidikan di Indonesia. Optimisme ini muncul
entah muncul dari mana yang penting yakin aja. Saya merasa bahwa banyak orang
yang peduli sama pendidikan yang saat
ini secara diam diam sedang membangun peradaban pendidikan di Indonesia.
.
Comments
Post a Comment